“Hidup ini patut kita hayati! Bagaimana kita mau menang kalau kita tidak berjuang lebih dahulu? Dan dengan bergulat kita memperoleh kekuatan. Dan dengan tersesat-sesat kita menemukan sebuah jejak (Surat Kartini)”
Pada seputaran bulan April sudah dapat
dipastikan di sekolah-sekolah baik negri maupun swasta sering diadakan kontes
pakaian adat kebaya antar siswa. Mengapa demikian? Tanggal 21 April, Indonesia
memperingati lahirnya seorang sosok wanita yang merupakan tokoh wanita yang
dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Kartini, sosok wanita
yang menjadi sumber inspirasi bagi para wanita untuk mendapatkan kesamaan
derajat dan kedudukan dengan kaum pria, bebas mengekspresikan dirinya, bebas
memperoleh pendidikan tinggi tanpa batas, bebas sebebas yang dilakukan
laki-laki. Pada masa sekarang, pembahasan tentang Kartini seakan tidak akan
pernah habis.
Kartini adalah pribadi yang tangguh,
mandiri, dan pantang menyerah. Walaupun lahir dan dibesarkan oleh lingkungan ningrat, namun
kebangsawanannya yang kental tidak menyurutkan semangat juang beliau untuk
memperjuangkan emansipasi wanita pribumi. Bahkan usahanya memajukan kaum
pribumi pun tergolong luar biasa besar. Beliau tidak mau menjadi wanita yang
lemah apalagi penakut. Beliau berusaha menjadi wanita yang sejajar dengan pria.
Bukan untuk berkompetisi namun bersama-sama membangun bangsanya, dengan tidak
mengingkari kodratnya sebagai wanita. Melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 108
Th 1964 dinyatakan sebagai “Pahlawan Pergerakan Nasional” dan hari lahirnya
dinyatakan sebagai hari raya nasional.
Putri dari Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat ini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Sewaktu RA Kartini
dilahirkan, ayahnya masih berkedudukan sebagai Wedono Mayong, sedangkan ibunya
adalah seorang wanita berasal dari desa Teuk Awur yaitu M.A. Ngasirah yang
berstatus garwo ampil. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia
mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman yang berasal dari
Belanda.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap
tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi
perempuan Jawa yang lebih maju. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun
ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi
kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia akhirnya mengizinkan Kartini untuk
belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk
melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Namun pada akhirnya Kartini tidak belajar ke Betawi, tetapi memutuskan untuk
menikah dengan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat seorang bupati Rembang yang
sudah memiliki 3 istri. Memang sudah
saatnya RA Kartini memasuki masa pingitan karena usianya telah mencapai 12
tahun lebih, ini semua demi keprihatinan dan kepatuhan kepada tradisi ia harus
berpisah pada dunia luar dan terkurung oleh tembok Kabupaten.
Pada tanggal 13 September 1904 RA
Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama RM. Soesalit. Tetapi
keadaan RA Kartini semakin memburuk meskipun sudah dilakukan perawatan khusus,
dan akhirnya pada tanggal 17 September 1904 RA Kartini menghembuskan nafasnya
yang terakhir pada usia 25 tahun. Semenjak Kartini wafat, banyak usaha untuk
menggambarkan figur Kartini sebagai wanita yang menganut paham sinkretisme.
Pada masa sekarang, pembahasan tentang
Kartini seakan tidak akan pernah habis. Melalui Surat Keputusan Presiden RI No.
108 Th 1964 dinyatakan sebagai “Pahlawan Pergerakan Nasional” dan hari lahirnya
dinyatakan sebagai hari raya nasional. Surat-surat Kartini banyak mengungkap
tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi
perempuan Jawa yang lebih maju.
Dari gambaran tentang Kartini, muncul
sedikit kontroversi yang muncul pada zaman sekarang. Bagaimana tidak, ada
kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H.
Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa
surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit
saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda,
dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hal ini
juga di perkuat dengan pemunculan tokoh R.A. Kartini yang menjadi pahlawan
wanita Indonesia tidak lepas dari peran Belanda karena Kartini di pandang
kooperatif dengan pihak Belanda.
Saat R.A. Kartini sibuk mencurahkan
pemikirannya melalui tulisan, di tempat lain Dewi Sartika sudah bergerak
membangun sekolah Kautaman Istri. Saat R.A. Kartini curhat dan bertukar pikiran
dengan temannya di Belanda, di tempat lain, Rohana Kudus sudah bertindak
membangun dan mengembangkan Sekolah Kerajinan Amal Setia dan Rohana School.
Saat R.A. Kartini termenung memikirkan nasib kaumnya, di tempat lain Cut Nyak
Dien, Tengku Fatimah, Laksamana Malahayati berjuang mengangkat senjata melawan
penjajah Belanda.
Jelas pernyataan di atas menimbulkan
kontroversi besar besaran, namun bagi pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang
tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja,
melainkan adalah tokoh nasional yang artinya, dengan ide dan gagasan
pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional. (-g.a)
Daftar Pustaka:
Asvi Warman Adam, Membongkar Manipulasi
Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwanya,
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009.
Pelt-Otten, Liontien van, R.A. Kartini:
Dengan Latar Belakang Zamanya, Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, 2003.
Saparinah Sadli, Berbeda tetapi Setara:
Pemikiran tentang Kajian Perempuan, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2010.
0 comments:
Post a Comment